Arsip Blog

Mau Liat Maenan Saham2 gw Hari Ini :

Rabu, 16 Desember 2009

musuh bebuyutan MENGINJAK-INJAK investor ritel bumi ... 161209

SENGKETA BARU SETERU LAMA

Kisruh penyelamatan Bank Century menyingkap perseteruan tersembunyi antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dan pengusaha Aburizal Bakrie. Ditekan para politikus Beringin, Lapangan Banteng membuka skandal dugaan penggelapan pajak oleh kelompok usaha Bakrie.

SUATU hari dalam hidup Robert Tantular, 20 November setahun lalu. Bank Indonesia memanggil pemilik Bank Century yang sedang kolaps itu pada petang hari. Dari bank sentral, ia yang ditemani Direktur Utama Hermanus Hasan Muslim dan wakilnya, Hamidi, diminta menuju Departemen Keuangan di Lapangan Banteng, Jakarta. ”Sampai sana kami hanya disuruh nunggu,” ujar Robert pekan lalu.

Century baru saja kalah kliring sepekan sebelumnya. Fasilitas pinjaman jangka pendek dari bank sentral tak bisa menolong. Penarikan dana oleh nasabah secara terus-menerus telah menguras kocek bank itu. Usaha Robert menggandeng investor baru buat menambah modal juga tak kunjung berhasil. Rabu malam itu, di Departemen Keuangan, nasib Century ditentukan oleh Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang dipimpin Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Robert dan dua anggota direksi Century diminta menunggu di sebuah ruang besar di lantai dua yang, menurut Robert, tanpa kursi dan tanpa meja, diketahui sebagai Ruang Mezanine. Di ruang lain di lantai tiga, rapat Komite Stabilitas dihadiri Gubernur Bank Indonesia Boediono (kini wakil presiden), Siti Fadjrijah (Deputi Gubernur Senior BI), Raden Pardede (Sekretaris KSSK), Rudjito (Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan), Muliaman D. Hadad (anggota LPS), dan Marsillam Simandjuntak (Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi). Menurut Raden, ada sekitar 30 peserta.

Robert ternyata harus begadang di ruang besar itu semalaman, dari Rabu, pukul 21.00, sampai pukul 07.00 esok harinya. ”Kami tahu mereka meeting, tapi kami tak tahu apa-apa,” ujarnya. Kamis pagi, Wakil Direktur Pengawasan Bank Indonesia Heru Kristiana baru memberi tahu: Century diambil alih oleh LPS.

Sebagai Direktur Century Mega Investama, salah satu pemegang saham Bank Century, Robert, diberi dua pilihan: ikut menyetor modal bank hasil rekapitalisasi atau tidak. Jika ikut, ia harus menyediakan seperlima kebutuhan dana. Ia menyatakan ikut dan diberi waktu 35 hari buat menyediakan duit. ”Lalu saya pulang,” ujar Robert, yang telah divonis empat tahun penjara dalam kasus penggelapan duit nasabah.

Setahun lebih setelah malam panjang itu, kehadiran Robert menjadi kontroversi. Sejumlah anggota Panitia Khusus Hak Angket Kasus Bank Century Dewan Perwakilan Rakyat mengklaim punya bukti rekaman percakapan Sri Mulyani dengan Robert. Bambang Soesatyo, anggota panitia dari Partai Golkar, menyebutkan, pembicaraan keduanya berlangsung sangat singkat.

Menurut Bambang, Sri Mulyani pada rekaman itu mengatakan: ”Kita akan rapat tertutup dulu, ya, Robert.” Lalu, menurut dia, Robert menjawab: ”Ya sudah, oke. Tidak apa-apa rapat tertutup. Yang penting kan kesimpulan mengakhiri pasal keadaan krisis.” Anggota panitia menuduh, Robert ikut mempengaruhi rapat yang akhirnya memutuskan Century diselamatkan. Belakangan, Lembaga Penjamin menyuntikkan dana hingga Rp 6,7 triliun untuk keperluan ini.

Keterangan Bambang disangkal Raden Pardede. Ia mengatakan, yang disebutkan anggota Dewan itu rekaman pembicaraan antara Sri, dirinya, dan Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo. Ketiganya berbincang beberapa detik, sebelum rapat pindah dari ruang besar yang diikuti 30-an orang ke ruang kecil yang hanya dihadiri Sri, Boediono, dan Raden.

Mengutip rekaman, Raden menyatakan, Sri Mulyani ketika itu berujar: ”Oh ya... Robert, Robert. Sudah, rapat tertutup kita sekarang. Sudah-sudah Robert, Den.” Raden mengingat, perkataan Sri itu menjawab Agus yang masih membahas cacat Robert Tantular. Raden mengaku tidak berkomentar apa pun ketika itu.

Raden menambahkan, menjelang akhir rekaman rapat yang berdurasi empat jam itu, terdengar suara lelaki yang berbicara dengan Sri Mulyani. Sang lelaki memberi saran teknis hukum atas pengambilan keputusan penyelamatan Century. Menurut dia, itu suara Marsillam Simandjuntak. ”Kami punya video yang juga merekam rapat,” ujar Raden. Ia memastikan, Sri tak bertemu dengan Robert Tantular malam itu. Ia pun menyatakan telah menyerahkan transkrip rekaman ke Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kepada Tempo, Marsillam Simandjuntak membenarkan perihal suaranya dalam rekaman itu. Sabtu pekan lalu, beberapa orang dekat Boediono menyatakan akan memutar video kepada wartawan.

l l l
Kontroversi rekaman itu muncul sehari setelah Sri Mulyani membuka ”perseteruan lama”-nya dengan Aburizal Bakrie, pengusaha, mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, yang kini memimpin Partai Golkar. Kepada koran The Asian Wallstreet Journal, ia mengatakan, Aburizal tidak senang kepadanya. ”Saya tidak berharap orang-orang di Golkar bersikap adil pada saya,” ujarnya.

Menurut Sri, perselisihannya dengan Aburizal berawal tahun lalu, ketika ia menolak permintaan koleganya di kabinet untuk menunda pembukaan kembali perdagangan saham beberapa perusahaan keluarga Bakrie. Ketika itu, harga saham PT Bumi Resources, perusahaan tambang batu bara milik keluarga Bakrie, terjerembap ke level terendah. Hal yang sama terjadi pada saham lima perusahaan lain di bawah Grup Bakrie.

Bursa Efek Indonesia pun menutup perdagangan saham-saham keluarga Bakrie. Pembukaan kembali perdagangan akan semakin membuat harga saham perusahaan-perusahaan itu semakin jatuh (lihat ”Panas Digoyang Gempa Bumi”, Tempo, 17 November 2008).

Tahun lalu, Sri juga mencegah ke luar negeri sejumlah eksekutif perusahaan tambang batu bara, termasuk Bumi, yang diduga menunggak pembayaran royalti tambang ke pemerintah. Namun Lalu Mara Satriawangsa, juru bicara Aburizal, mengatakan sikap Partai Golkar dalam pengusutan kisruh Century di Dewan Perwakilan Rakyat tidak berkaitan dengan persoalan pribadi bosnya. ”Jangan bawa ke persoalan pribadi,” ujarnya.

Kisruh Century rupanya membuka perseteruan yang selama ini selalu ditutup-tutupi. Baik Sri maupun Aburizal, ketika keduanya berada di kabinet, mengatakan tidak memiliki masalah. Apalagi Aburizal juga selalu menyatakan telah meninggalkan bisnisnya sejak bergabung menjadi anggota Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004.

Seorang anggota panitia khusus menyatakan Sri setidaknya memiliki empat persoalan dengan Aburizal. Dua hal berkaitan dengan perdagangan saham dan royalti perusahaan keluarga Bakrie. Yang lainnya, karena Sri menentang penggunaan anggaran negara buat menyelesaikan dampak lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Walhasil, keluarga Bakrie harus merogoh kas mereka hingga Rp 4 triliun.

Politikus itu juga menyebutkan Aburizal tidak senang dengan sikap Sri dalam divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara. Menteri Keuangan dianggap menghalang-halangi upaya PT Multi Daerah Bersaing—perusahaan patungan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat, dan PT Multicapital milik Grup Bakrie—membeli 31 persen saham Newmont. Sri justru memilih PT Aneka Tambang, perusahaan negara yang belakangan mundur karena tak kuat menyetor modal.

Hingga akhir pekan lalu, Aburizal belum bersedia diwawancarai. Tempo telah mengirim surat permohonan wawancara melalui surat tapi belum ditanggapi. Ditemui di sebuah pesta pernikahan di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Sabtu pagi, ia yang mengenakan setelan jas warna gelap hanya tersenyum. Lalu Mara menyatakan bosnya tidak akan melakukan wawancara karena ”tidak merasa memiliki masalah pribadi dengan Sri Mulyani”.

Adapun Tryana Sjam’un, Direktur Utama Bakrie Capital Indonesia dan Komisaris Utama Multi Daerah Bersaing, membantah Bakrie marah kepada Sri gara-gara divestasi saham Newmont. ”Tidak benar itu,” ujarnya. Ia menyatakan, dalam divestasi saham Newmont, pemerintah Nusa Tenggara Barat yang aktif bernegosiasi.

Dengan riwayat perseteruan itu, tak mengherankan, para pendukung Sri Mulyani menganggap kelompok Aburizal berada di balik serangan politik dari Senayan dalam kisruh Century ini.

l l l
Penyelamatan Century pertama kali dipersoalkan sejumlah politikus Beringin, dua hari sebelum Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat menggelar rapat kerja dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, akhir Agustus lalu. Mereka menyatakan Sri akan dicecar pertanyaan yang berkaitan dengan penyelamatan bank hasil merger sejumlah bank kecil itu.

Para politikus Golkar itu antara lain Harry Azhar Aziz, Natsir Mansyur, Ade Komaruddin, dan Melchias Marcus Mekeng. Mereka menganggap pengucuran dana itu tindakan ilegal. Natsir Mansyur, misalnya, mempertanyakan alasan dampak sistemik yang dijadikan dasar penyelamatan. Pernyataan para politikus Golkar ini lantas dikutip media massa.

Ledakan kasus ini kian hebat setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla, rival Yudhoyono yang berpasangan dengan Boediono pada pemilihan presiden, Juli lalu, menyatakan tidak pernah setuju dengan penyelamatan Century. Ia juga mengaku tidak pernah diajak berembuk oleh Sri dan Boediono.

Sri Mulyani mengaku heran dengan sikap Dewan yang baru mempersoalkan penyelamatan Century pada rapat kerja, Agustus 2009. Padahal, pada rapat Februari 2009, atau tiga bulan lebih setelah penyelamatan, tak ada pertanyaan sama sekali dari Dewan.

Dihubungi Sabtu pekan lalu, Harry Azhar menyebutkan pernyataan para politikus Golkar yang kemudian muncul di surat kabar dua hari sebelum rapat kerja itu bukan skenario yang dimainkan kubu Aburizal. Apalagi, kata dia, waktu itu Aburizal belum menjadi Ketua Umum Golkar. “Kami hanya mencium ketidakberesan,” ujarnya.

Kubu Sri Mulyani memang memasang mata awas kepada Aburizal. Sang pengusaha memiliki kedekatan dengan Yudhoyono. Ia bahkan termasuk dalam daftar terakhir calon wakil presiden, sebelum akhirnya Yudhoyono memilih Boediono. Cikeas juga ”merestui” Aburizal ketika bertarung dengan Surya Paloh, yang didukung Jusuf Kalla, dalam pemilihan Ketua Umum Golkar di Pekanbaru, Riau, Oktober lalu.

Sebelum pembentukan panitia khusus, menurut sejumlah politikus Beringin, Yudhoyono meminta Sri Mulyani menemui Aburizal. Tujuannya, meredam dukungan Beringin terhadap pembentukan panitia untuk hak angket itu. Sri kabarnya datang ke rumah Aburizal di Menteng, Jakarta Pusat. ”Saya dengar, Sri Mulyani sampai mencium tangan Pak Aburizal,” kata Harry Azhar.

Setelah pertemuan itu, Golkar sedikit melunak. Pemilik kursi terbanyak kedua di Dewan Perwakilan Rakyat ini pun mengajukan calon yang sangat diterima oleh Cikeas: Idrus Marham. Sekretaris Jenderal Partai Golkar ini memiliki hubungan yang baik dengan Yudhoyono. ”Ia dipasang biar kasus Century tak berkembang menjadi bola liar yang menjatuhkan Presiden,” kata seorang politikus senior Beringin.

Tapi soal adanya perintah Presiden kepada Sri Mulyani agar menemui Aburizal itu ditepis juru bicara Presiden, Julian Pasha. “Tidak ada,” katanya, “itu pasti rumor. Presiden tidak mungkin melakukan hal-hal macam itu.”

Kini, perseteruan Aburizal dan Sri Mulyani akan semakin terbuka. Pekan lalu, walau secara ”kebetulan” Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo membuka dugaan penggelapan pajak oleh tiga perusahaan tambang batu bara milik kelompok Bakrie (lihat ”Gebrakan Pajak di Akhir Tahun”). ”Kami sudah memeriksa penggelapan pajak itu jauh sebelum ribut-ribut sekarang,” kata Tjiptardjo.

Sri Mulyani, setelah pernyataannya di Wall Street Journal, memilih tutup mulut. Ditemui Tempo pada acara Pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, Jumat petang pekan lalu, ia berujar pendek, ”Saya tidak mau berkomentar.”

Budi Setyarso, Padjar Iswara, Okta Wiguna, Sunudyantoro, Agus Suprianto
Gebrakan Pajak di Akhir Tahun
Tiga perusahaan Bakrie diduga merekayasa pembayaran pajak Rp 2,1 triliun. Jika benar, ini yang terbesar di Indonesia.
TAHUN 2007 adalah tahun penuh kejutan bagi PT Bumi Resources Tbk. Tren pergantian energi dari minyak bumi ke batu bara membuat permintaan batu hitam di seluruh dunia melonjak. Perusahaan milik keluarga Bakrie itu pun ikut ketiban untung dengan mencatatkan rekor baru penjualan batu bara yang dikeduk dari Kalimantan Timur itu.

Bumi bisa menjual 55 juta ton batu bara dengan harga tertinggi yang pernah mereka peroleh US$ 44 (Rp 440 ribu) per ton. Di lain sisi, setelah mengganti tiga kontraktor dengan milik mereka sendiri atau menjual anak perusahaan, biaya operasional bisa dipangkas. Alhasil, Bumi mendapat untung tahun itu US$ 754 juta atau Rp 7,54 triliun—naik 42 persen dari tahun sebelumnya.

Euforia itu—para komisaris dan direksi membanggakan rekor baru itu di laporan keuangan—rupanya diperoleh dengan cara tak elok. Petugas pajak menengarai akuntan-akuntan Bumi merekayasa pembayaran pajak 2007 sebesar Rp 376 miliar. ”Kami sedang menyelidikinya,” kata Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo akhir pekan lalu.

Kasus ini bisa memanaskan kembali hubungan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan Aburizal Bakrie, pemilik kelompok usaha ini. Kepada koran Wall Street Journal, pekan lalu, Sri Mulyani menyatakan bahwa Aburizal berada di belakang geger politik kasus Century karena tidak suka kepadanya. Bukan tidak mungkin pengungkapan kasus pajak ini dituding sebagai bagian dari perseteruan itu.

Namun, kata Tjiptardjo, sebetulnya kasus ini agak lama terendap. Para penyidik pajak telah memeriksa dugaan rekayasa itu pada 30 Juni lalu, setelah menemukan bukti rekayasa lebih gawat lagi di perusahaan Bakrie lain, yakni PT Kaltim Prima Coal, pada 2009. Kaltim Prima diduga merekayasa pembayaran pajak yang merugikan negara Rp 1,5 triliun. Belakangan ada juga dugaan rekayasa di PT Arutmin Indonesia US$ 39 juta.

Total jenderal, perusahaan-perusahaan batu bara di bawah Bakrie ini ditengarai menggelapkan pajak hingga Rp 2,1 triliun. Kalau terbukti, ini rekor baru penggelapan pajak yang pernah terjadi di Indonesia. Rekor sebelumnya dipegang Asian Agri Group—perusahaan kelapa sawit milik orang terkaya di Indonesia, Sukanto Tanoto—yang diduga menggelapkan pajak selama 2002-2005 sebesar Rp 1,4 triliun.

Uang yang bisa dipakai membangun rumah untuk 20 ribu keluarga di Sidoarjo, Jawa Timur, yang tertimbun lumpur itu, ditaksir digelapkan dengan cara transfer pricing. Ini teknik rekayasa keuangan yang lazim dipakai perusahaan besar yang punya lini produksi dari hulu hingga hilir untuk menghindari bayar pajak terlalu banyak.

Seorang penyidik bercerita, dugaan rekayasa laporan pajak itu mulai terendus pada awal 2009. Kecurigaan petugas pajak sederhana saja: tiga perusahaan itu hanya membayar pajak tak lebih dari Rp 2 triliun, padahal mereka menjual begitu banyak batu bara dengan harga bagus saat itu. Usut punya usut, kata penyidik ini, harga batu bara yang dilaporkan dalam surat pemberitahuan pajak hanya setengah dari harga jual sebenarnya.

Caranya dengan membuat konsumen lain yang seolah-olah membeli batu bara dengan separuh harga itu. ”Seolah-olah karena transaksi itu tak terjadi,” kata penyidik pajak senior ini. ”Faktanya, batu bara itu dijual langsung ke pembeli lain dengan harga dua kali lipat.” Pengurangan harga ini otomatis memangkas biaya transaksi yang berdampak pada rendahnya pajak yang mesti dibayar.

Para pejabat di unit usaha Bakrie kompak menolak berkomentar ketika dimintai konfirmasi mengenai tuduhan berat di akhir tahun ini. ”Itu bukan urusan saya, tanya Presiden Direktur saja,” kata Eddie J. Sobari, Direktur Bumi Resources, Kaltim Prima Coal, dan Arutmin.

Ari S. Hudaya, yang menjadi presiden direktur tiga perusahaan itu, mengatakan ia akan membuat rilis resmi untuk menanggapi tuduhan rekayasa pajak itu. ”Tunggu saja, ya,” katanya. ”Terima kasih atas perhatiannya.”

Sesungguhnya mereka bukan tanpa upaya mencegah kasus ini bergulir hingga ramai diberitakan. Pengacara Bakrie Group sudah dua kali mengirim surat ke Menteri Keuangan Sri Mulyani agar menghentikan penyidikan. Permintaan itu ditolak karena prosesnya sudah masuk tahap penyidikan. ”Waktu diperiksa kenapa tak mengaku bersalah dan membayarnya saja,” kata Tjiptardjo. ”Kalau sudah penyidikan begini, kami tak bisa mundur lagi.”

Menurut Tjiptardjo, petugas pajak sebetulnya sudah memberikan kesempatan tiga perusahaan itu memanfaatkan sunset policy pada 2008 berupa penghapusan sanksi administratif pembayaran bunga pajak dan memperbaiki laporan pajaknya. ”Tapi mereka ngotot merasa tak bersalah,” kata seorang penyidik lain.

Itu sebabnya, pada 20 April 2009 petugas pajak mencegah Robertus Bismarck, seorang petinggi PT Kaltim Prima Coal, bepergian ke luar negeri setelah menetapkannya sebagai tersangka. Robertus adalah akuntan yang meneken surat pemberitahuan tahunan pajak. Tjiptardjo menyebut dialah yang diduga menjadi penanggung jawab teknik-teknik rekayasa itu. Pencegahannya tetap diberlakukan meski ada pembayaran sebagian uang pajak.

Rupanya, setelah pemeriksaan naik ke tahap penyidikan, Kaltim Prima lumer juga dan bersedia membayar Rp 828 miliar, disusul Arutmin yang menyetor US$ 27,5 juta. Terlambat. Menurut Tjiptardjo, pelunasan pajak dari penggelapan tak menghalangi atau menghapus pelanggaran pidananya. Bahkan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan mengatur denda akibat merekayasa laporan pajak sebesar empat kali dan pokok pajak satu kali.

Pembayaran 500 persen dari jumlah pajak yang digelapkan itu juga sebagai syarat Menteri Keuangan atau Jaksa Agung mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan. Tentu saja jika keduanya mau mencabutnya karena lebih mementingkan duit negara kembali ketimbang memenjarakan orang. Meski bisa saja uang kembali, penjara jalan terus.

Tjiptardjo juga menyangkal bahwa dibukanya kasus penggelapan pajak perusahaan Bakrie ini karena perseteruan antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie. ”Tak ada unsur politik, kami sudah memeriksa penggelapan pajak itu jauh sebelum ribut-ribut sekarang,” katanya.

Terlepas dari kisruh dua petinggi itu, dugaan penggelapan pajak oleh tiga perusahaan Bakrie itu, jika kelak terbukti, telah mencatatkan rekor baru dalam sejarah pajak di Indonesia. ”Bukti kami sangat kuat,” kata Tjiptardjo.

Bagja Hidayat
Ada Udang di Balik Bakwan
KETUA Dewan Pengurus Pusat Partai Demokrat Ruhut Sitompul selalu punya cara untuk menyindir. Kali ini yang menjadi sasaran lidahnya adalah Amien Rais, Ketua Majelis Pertimbangan Pusat Partai Amanat Nasional. ”Amien Rais jangan-jangan ingin jadi wakil presiden,” katanya. ”Kalau mau bantu Pak SBY, jangan dong ada udang di balik bakwan.” Tak lupa Ruhut membela Wakil Presiden Boediono. ”Jangan ganggu Boediono. Partai Demokrat akan membela Boediono sampai titik darah penghabisan.”

Yang menjadi pangkal soal adalah pernyataan Amien Rais yang menyarankan Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani nonaktif dari jabatannya. ”Alangkah baiknya, dengan sikap kenegaraan, mereka step down dulu,” kata Amien saat menerima para inisiator hak angket Bank Century Dewan Perwakilan Rakyat di kediamannya, Perumahan Taman Gandaria, Jakarta Selatan.

Amien membantah pernyataannya itu sebagai upaya mendepak lawan politik. ”Terlalu jauh kalau ada yang mengesankan seperti itu,” kata Amien kepada wartawan Tempo, Basuki Rahmat.

Menilik ke belakang, sulit untuk tak mengatakan sinyalemen Ruhut soal Amien ada benarnya. Pertengahan Mei lalu, Amien pernah bertemu empat mata dengan Susilo Bambang Yudhoyono di Wisma Negara. Kepada Yudhoyono, Amien menasihati agar mempertimbangkan kembali rencana memilih Boediono sebagai calon wakil presiden. Kata Amien, Boediono akan menjadi beban. ”Dia hanya akan jadi liabilities,” kata Amien seperti ditirukan politikus PAN, Taufik Kurniawan.

Saat itu, Amien dikabarkan kecewa karena titipannya, ”Mr Silver Hair” (Hatta Rajasa), tak diambil Yudhoyono sebagai pasangan. Makanya, meski partainya bagian dari koalisi pemerintah, saat deklarasi Yudhoyono-Boediono sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden, Amien tak datang. Sejumlah orang dekat Amien di PAN, seperti Dradjad Wibowo dan Alvin Lie, malah merapat di kubu Jusuf Kalla-Wiranto.

Menurut Taufik, Amien khawatir Boediono mengabaikan ekonomi kerakyatan dan lebih mementingkan prinsip pasar bebas. ”Waktu pemilu presiden, Pak Amien yang paling getol melontarkan bahaya neoliberalisme,” kata Taufik.

Intuisi politik Amien, kata Taufik, terbukti benar. ”Ada yang salah dengan Boediono.” Maksudnya: bailout Bank Century dilakukan karena Boediono yang saat itu Gubernur Bank Indonesia tak menjalankan prinsip ekonomi kerakyatan.

Bermodalkan 46 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, PAN aktif mendukung dibentuknya Panitia Angket Bank Century—meski sesungguhnya PAN bagian dari koalisi Yudhoyono dengan mendudukkan tiga politikusnya di kursi kabinet.

Chandra Tirta Wijaya, salah satu inisiator angket dari PAN, mengaku tak pernah sekali pun mendapat teguran atau peringatan dari pengurus partai. Ini berbeda ketika PAN terlibat dalam Panitia Khusus Angket Bahan Bakar Minyak—menyusul kebijakan pemerintah Yudhoyono 2004-2009 menaikkan harga BBM yang banyak diprotes publik. Ketika itu, politikus PAN di Dewan terus-terusan diminta membatalkan angket.

Menurut sumber Tempo di PAN, dalam angket Century, pengurus pusat PAN mendukung penuh. ”Buktinya, politikus PAN yang kini Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa diam saja saat Chandra dan kawan-kawan mengumpulkan dukungan.”

Menurut sumber tadi, Hatta Rajasa diuntungkan jika Wakil Presiden Boediono tersingkir akibat sengkarut Century. ”Ia berpeluang menggantikan Boediono,” kata sumber itu. ”Kalau situasi menghendaki, bisa-bisa dia yang akan naik.”

Kepada Tempo, seusai Jumatan di kantornya pekan lalu, Hatta membantah semua tudingan. ”Jangan ada spekulasi macam-macam,” kata Hatta. ”Saya ini ketua tim pemenangan SBY-Boediono. Saya ingin Pak Boediono bersama-sama terus sampai 2014.”

Agus Supriyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Welcome All of You

Cari di Blog Ini