Arsip Blog

Mau Liat Maenan Saham2 gw Hari Ini :

Selasa, 08 Desember 2009

bumi, sang raja UTANK, tapi dipercaya trus ... 081209

Selasa, 08/12/2009 09:27 WIB
Mengurai Skema Ekspansi dan Utang Maha Besar BUMI
Indro Bagus SU - detikFinance


Jakarta - Tak satu saham pun yang menjadi sorotan publik dengan sangat kritis di jagad pasar modal Indonesia layaknya saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI), setidaknya untuk saat ini.

Saking kritisnya, terkadang persepsi ikutan disangka fakta. Ya, badai rumor tak henti-hentinya menerpa bangunan kokoh perusahaan milik konglomerat yang pernah menduduki peringkat orang terkaya di Indonesia, Aburizal Bakrie.

PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) mengklaim masih memegang 16% saham BUMI. Namun data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat tidak ada satu pun perusahaan atau investor yang memiliki saham BUMI lebih dari 5%. Terlepas dari itu, sulit melepaskan BUMI dari asosiasi dengan grup Bakrie.

Dan mungkin karena itu pula rumor dan spekulasi seolah menjadi teman hidup yang paling dekat dengan BUMI. Sebab, induknya pun tak luput dari serangan rumor.

Tapi mau bagaimana lagi, langkah dan strategi bisnis grup Bakrie memang kerap mengundang kontroversi. Polah tingkah ekstrem nan berani grup Bakrie pernah dituding menjadi salah satu penyebab kejatuhan pasar modal tahun 2008. Namun kesuksesan grup Bakrie dalam mencetak uang juga berangkat dari strategi yang sama.

Begitu pula dengan BUMI. Perusahaan batubara terbesar di Indonesia sekaligus eksportir batubara terbesar di dunia ini, kini tengah menghadapi segudang pertanyaan dan spekulasi pelaku pasar lantaran aksi utang besar hingga US$ 3,325 miliar yang mungkin bisa bertambah lagi ke depannya.

BUMI dituding melakukan aksi nekat dengan utang tersebut. Pelaku pasar kemudian berbicara posisi beban utang BUMI, dampaknya pada kinerja jangka pendek perseroan, sampai-sampai mengkait-kaitkannya dengan dana kampanye politik Aburizal Bakrie.

"Banyak orang tidak mengerti kemudian berspekulasi sendiri tentang apa yang sedang kami lakukan. Bahkan sampai menuding pinjaman ini untuk dana politik. Itu sangat tidak logis," tegas SVP Investor Relations BUMI, Dileep Srivastava dalam bincang-bincangnya dengan detikFinance, Senin (7/12/2009).

Menurut Dileep, spekulasi dan rumor yang berkembang di kalangan pelaku pasar tidak memiliki dasar yang jelas. Apalagi soal posisi beban utang BUMI seperti sering dibahas pelaku pasar.

"Orang cenderung melihat dampak yang terjadi dalam waktu jangka pendek, ketimbang melihat apa yang akan kami raih dan keuntungan yang akan kami berikan pada pemegang saham kami di masa mendatang," jelas Dileep.

Dileep mengakui kalau skema ekspansi yang sedang dipersiapkan BUMI boleh tergolong ekstrem dan kelewat berani. Namun menurutnya, BUMI melakukan itu bukan tanpa perhitungan.

"Situasi ini mirip ketika kami memutuskan mengambil alih KPC (PT Kaltim Prima Coal) dan Arutmin (PT Arutmin Indonesia). Ketika itu banyak yang mengatakan kami terlalu nekat melakukan ekspansi," ujar Dileep.

BUMI mengambil alih 80% saham Arutmin dari BHP Biliton pada 2001. Sisanya sebesar 20% yang menjadi milik PT Ekakarsa Yasakarya Indonesia yang juga merupakan perusahaan grup keluarga Bakrie dituntaskan pada tahun 2004.

KPC sebelumnya milik British Petroleum dan Rio Tinto dengan kepemilikan masing-masing 50%. BUMI mengambil alih tuntas KPC pada tahun 2003.

BUMI yang saat itu masih merupakan perusahaan energi kecil-kecilan, sebagai wujud perubahan usaha dari usaha sebelumnya di sektor pariwisata yang mengelola bisnis hotel di Uzbekistan, kemudian mendapat reaksi dari pelaku pasar.

"Di tengah kondisi ekonomi saat itu, dimana perbankan sulit mengucurkan pinjaman kecuali dengan bunga tinggi, orang-orang mempertanyakan alasan kami mengambil pinjaman berbunga tinggi dan bernilai besar. Nilainya total sekitar US$ 1,1 miliar," ujar Dileep.

Dengan pinjaman sebesar itu, tentu tak sedikit pihak yang lantas meragukan apakah manajemen BUMI mampu terus tumbuh dengan beban utang dan beban bunga yang harus ditanggung.

"Hasilnya, semua orang bisa membuktikan. Pada tahun 2007-2008, kami melunasi seluruh utang US$ 1,1 miliar dan BUMI menjadi perusahaan besar dengan zero debt (nihil utang), hanya dengan melepas 30% saham KPC dan Arutmin kepada Tata," jelasnya.

"Anda investasi miliaran dolar dan seluruhnya kembali hanya dalam waktu 4 tahun. Adakah perusahaan lain yang mampu melakukan ini selain BUMI?" imbuhnya.

Sikap optimistis Dileep sebetulnya beralasan. Dengan investasi sebesar US$ 1,1 miliar yang orang bilang nekat, BUMI berhasil melunasi seluruhnya sekaligus mencetak EBITDA (laba sebelum bunga, pajak, demortisasi dan amortisasi) tertinggi perseroan sepanjang sejarah pada tahun 2008.

"BUMI melunasi seluruh utang US$ 1,1 miliar pada tahun 2008, bersamaan dengan peningkatan produksi hingga 2 kali lipat di 2008. Dan karena itu, kami pun mencetak EBITDA tertinggi yang pernah diraih pada tahun 2008," ujarnya.

Produksi batubara BUMI sebesar 40 juta ton di 2003. Pada tahun 2008, produksi batubara BUMI naik menjadi 52,8 juta ton. Pendapatan BUMI tahun 2004 sebesar Rp 9,811 triliun. Pada tahun 2008, pendapatan BUMI mendekati US$ 4 miliar (hampir Rp 40 triliun).

Laba bersih BUMI tahun 2004 sebesar Rp 1,21 triliun. Pada tahun 2008, laba bersih BUMI meningkat drastis menjadi US$ 654 juta (sekitar Rp 6,5 triliun).

Seluk-Beluk Maha Utang US$ 3,325 Miliar

Sukses dari akuisisi KPC dan Arutmin, BUMI kini sedang berencana ekspasi besar-besaran. Sejak periode Agustus hingga Desember 2009, BUMI meraih pendanaan raksasa dengan total nilai mencapai US$ 3,325 miliar.

Berikut daftar pendanaan eksternal yang diperoleh BUMI:
Pada 5 Agustus 2009, BUMI melalui Enercoal Resources Pte Ltd menerbitkan obligasi konversi senilai US$ 375 juta. Obligasi konversi ini berjangka waktu 5 tahun dengan kupon bunga tetap sebesar 9,25%. BUMI memberikan opsi pelunasan tunai atas obligasi konversi ini saat jatuh tempo di 2014.
Pada September 2009, BUMI melalui Bumi Netherlands BV meraih pinjaman raksasa dari China Investment Corporation (CIC) senilai US$ 1,9 miliar. Pinjaman ini terbagi ke dalam 3 struktur yakni pinjaman pertama sebesar US$ 600 juta berjangka waktu 4 tahun, pinjaman kedua US$ 600 juta berjangka waktu 5 tahun dan pinjaman ketiga US$ 700 juta berjangka waktu 6 tahun. Tiga pinjaman ini berkupon bunga 12% setahun dengan penambahan Internal Rate of Return (IRR) sebesar 7% saat masing-masing pinjaman ini jatuh tempo.
Pada 13 November 2009, BUMI menerbitkan obligasi konvensional senilai US$ 300 juta. Obligasi berjangka waktu 7 tahun ini memberikan kupon bunga 12% per tahun.
Pada 25 November 2009, BUMI melalui Enercoal, lagi-lagi mengeluarkan obligasi konversi senilai US$ 300 juta. Obligasi konversi ini berjangka waktu 7 tahun dengan kupon bunga 5%.
BUMI juga memperoleh fasilitas pinjaman senilai US$ 300 juta dari Credit Suisse.
Teranyar, BUMI meraih pinjaman jangka pendek 6 bulan dari JP Morgan senilai US$ 150 juta pada 7 Desember 2009.

Rincian penggunaan dana tersebut sebagai berikut:
Investasi dan akuisisi senilai US$ 1,419 miliar.
Pembiayaan kembali utang (refinancing) senilai US$ 1,3 miliar.
Belanja modal (capital expenditure/capex) senilai US$ 314 juta.
Equity swap senilai US$ 240 juta.
Cap called option atas obligasi konversi senilai US$ 52 juta.

Menurut Dileep, BUMI sebenarnya bisa saja tidak melakukan refinancing atas utang-utangnya senilai US$ 1,3 miliar karena perseroan masih memiliki kas internal sebesar US$ 1 miliar.

"Kita punya pinjaman sebesar US$ 1,2-1,3 miliar yang akan jatuh tempo di 2009, 2010 dan 2011. Kas internal kita mencukupi untuk melunasinya, saat ini ada sekitar US$ 1 miliar," ujarnya.

Skema Ekspansi Organik BUMI

Dileep mengatakan, jika perseroan tidak meraih pendanaan baru dengan jatuh tempo lebih panjang ketimbang pinjaman yang akan jatuh tempo di 2009-2011, maka kas internal tersebut tidak bisa digunakan untuk pengembangan proyek.

"Dengan adanya pendanaan baru tersebut, yang mana pembayarannya baru akan dimulai pada 2013, kami memiliki keleluasaan dalam menggunakan kas internal kami. Dana tersebut akan digunakan untuk pengembangan proyek Herald, Gorontalo, Citra Palu, Mauritania, Fajar Bumi Sakti (FBS) dan Pendopo," ujar Dileep.

Berikut skema pengembangan proyek tersebut:

Herald Resources Ltd (lead dan zinc) sebesar US$ 211 juta. Jadwal operasi pada 2011. Target peningkatan EBITDA sebesar US$ 150 juta per tahun.

Gorontalo (emas) dan Citra Palu (tembaga) sebesar US$ 500 juta. Jadwal operasi pada 2013. Target peningkatan EBITDA sebesar US$ 900 juta per tahun.

Mauritania (bijih besi) sebesar US$ 300 juta. Operasi dijadwalkan 2013. Target peningkatan EBITDA sebesar US$ 250 juta per tahun.

FBS dan Pendopo (batubara) sebesar US$ 150 juta. Jadwal operasi pada 2011-2013. Target peningkatan EBITDA sebesar US$ 100 juta per tahun.

Total investasi pada 4 proyek ini mencapai US$ 1,161 miliar yang akan didanai dari kas internal BUMI yang telah leluasa untuk digunakan setelah dilakukan refinancing atas utang yang jatuh tempo 2009-2011.

Selain itu, BUMI juga menargetkan produksi batubara KPC dan Arutmin sebesar 111 juta ton di 2012. Untuk itu, dua anak emas BUMI ini akan menganggarkan capex sebesar US$ 1,1 miliar.

"KPC dan Arutmin mendanai peningkatan kapasitas produksi dari kas internal mereka sendiri. Jadi bukan berasal dari kas BUMI. Melalui peningkatan kapasitas menjadi 111 juta ton di 2012, EBITDA akan meningkat US$ 800 juta per tahun," papar Dileep.

Dengan demikian, total nilai investasi BUMI beserta KPC dan Arutmin mencapai US$ 2,261 miliar. Namun proyeksi peningkatan EBITDA dari seluruh pengembangan ini mencapai US$ 2,2 miliar per tahun, setimpal dengan dana yang harus dikucurkan.

Berhubung pengembangan 4 proyek tersebut menggunakan kas internal BUMI serta capex KPC dan Arutmin yang berasal dari kas internal sendiri, maka BUMI kini masih memiliki dana akuisisi dan investasi sebesar US$ 1,419 miliar.

"Sebesar US$ 500 juta digunakan untuk pelunasan seketika akuisisi Fajar Bumi Sakti, Pendopo dan Darma Henwa," ujar Dileep.

Meski Dileep tidak menyebutkan secara detil, namun setelah dikurangi US$ 500 juta tersebut, secara kasar BUMI kini masih memiliki dana segar untuk investasi dan akuisisi sebesar US$ 919 juta.

Akuisisi Newmont

Skema ekspansi selanjutnya adalah akuisisi Newmont. Dileep angkat bicara soal ini.

"Sebagian besar sisa dana tersebut akan dikucurkan kepada PT Multi Daerah Bersaing (MDB) dalam bentuk pinjaman untuk mengakuisisi 24% saham Newmont," ujar Dileep.

MDB merupakan perusahaan patungan antara PT Multicapital (75%) dan pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat (25%) dalam akuisisi 24% saham PT Newmont Nusa Tenggara. Multicapital merupakan anak usaha BUMI secara tidak langsung dengan kepemilikan 99%.

Total dana yang harus dikeluarkan MDB untuk mengakuisisi 24% saham Newmont mencapai US$ 884 juta.

BUMI telah mengucurkan pinjaman sebesar US$ 391 juta kepada MDB untuk pengambilalihan 10% saham Newmont. Pada akhir Desember 2009, BUMI akan kembali meminjamkan US$ 493 juta untuk akuisisi 14% saham Newmont sisanya.

Mengenai laba yang akan diterima BUMI melalui akuisisi tidak langsung 24% saham Newmont ini belum dapat diperkirakan. Namun proyeksi saat ini, Newmont diperkirakan bakal membukukan laba bersih lebih dari US$ 600 juta pada 2009.

"Saya tidak bisa menyebutkan berapa pemasukan yang akan diperoleh dari Newmont di masa mendatang. Namun anda menghitung sendiri berdasarkan proyeksi laba Newmont terhadap porsi kepemilikan kami di Newmont," ujarnya.

Berandai-andai seluruh dana akuisisi 24% saham Newmont sebesar US$ 884 juta telah dikucurkan, maka secara kasar sisa dana masih ada sekitar US$ 35 juta.

Berau & BHP Biliton

Skema ekspansi BUMI tak berhenti sampai Newmont. BUMI kini tengah merancang ekspansi ke sektor pemasaran batubara. Salah satu target awalnya adalah dengan ikutan memasarkan batubara yang diproduksi oleh PT Berau Coal yang baru saja diakuisisi oleh Recapital Advisors.

"Kami akan mulai investasi dalam pemasaran batubara. Tujuannya agar membentuk posisi tawar terhadap pembentukan harga jual batubara di pasar. Pembicaraan sedang dilakukan dengan Recapital," ujarnya.

Dileep juga mengungkapkan perseroan sedang ikutan memberi penawaran terhadap rencana divestasi tambang batubara Coking. Sayangnya ia tidak menyebutkan namanya.

Namun hampir dapat dipastikan, tambang yang dimaksud adalah konsesi Coking Coal milik BHP Biliton yang terletak di Maruwai, Kalimantan Timur. Dileep juga belum bisa menyebutkan dana yang disiapkan perseroann untuk keperluan itu.

"Kalau memang diperlukan, kami bisa mencari pendanaan lagi di pasar," ujarnya.

Penerbitan Saham Baru

Belakangan santer kabar yang mengatakan BUMI berencana melakukan penerbitan saham baru yang mengkait-kaitkan CIC bakal menjadi pembeli siaga (standby buyer) dengan tujuan menjadi pemegang saham BUMI.

Dileep angkat bicara soal ini. Menurutnya, penerbitan saham baru memang salah satu opsi yang sedang dikaji perseroan. Mengenai CIC sebagai standby buyer, Dileep juga belum dapat memberikan kepastian.

"Sesuai regulasi, perusahaan terbuka dimungkinkan untuk menerbitkan saham baru untuk mendapatkan pendanaan. Itu salah satu opsi yang juga kami kaji jika memang diperlukan. Namun mekanismenya seperti apa, belum difinalisasi," ujarnya.

Demikianlah kiranya skema ekspansi dan maha utang BUMI yang mengundang kontroversi itu. Meski banyak kalangan meragukan potensi keberhasilannya, namun BUMI mengaku optimistis jika seluruh rencana ini berhasil, maka mulai tahun 2013, BUMI akan mencatat kinerja keuangan yang mencengangkan.

"Proyeksi kami, mulai tahun 2013 pendapatan akan berlipat ganda dari apa yang diraih pada 2008," ujarnya.


(dro/qom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Welcome All of You

Cari di Blog Ini